Selasa, 01 Februari 2022

Lingkungan Bisnis Dinamis

 

 

Lingkungan Bisnis Dinamis


Isu: Bagaimana Ekosistem Digital dapat dibentuk melalui Collaborative Innovation, Dynamic Capability, dan Entrepreneurial Leadership pada UMKM, Start-up Digital, dan Korporasi menuju Sistem Ekonomi Digital

(Pemodelan proses terbentuknya ekosistem dan ekonomi digital)

 

Penggambaran model diatas merupakan penggabungan antara beberapa konsep/teori di Mata kuliah Lingkungan Bisnis Dinamis paruh 1 dan dikombinasikan dengan informasi pada Artikel 1, 2, dan 3, dimana terdapat irisan isu yang dibahas yaitu terkait inovasi digitalisasi melalui kolaborasi yang membuat lingkungan perusahaan dapat menuju ekosistem dan ekonomi digital.

A.   Pendahuluan

Lingkungan (environment) yang dinamis dan penuh ketidakpastian akan mempengaruhi keberlangsungan suatu Perusahaan (Li & Liu, 2012). Perusahaan yang dapat beradaptasi dengan lingkungan dalam Population Ecological Theory (Hanan & Freeman, 1977) dan mendapat legitimacy dari masyarakat (Jones, 2013) akan bertahan (survive) dan sustain. Menurut Baron (2012), posisi perusahaan dengan lingkungan dapat dibedakan menjadi market environment dan non-market environment. Dalam lingkungan pasar (market environment), perusahaan akan bersaing dengan kompetitor di sektor bisnis yang sama, disisi lain perusahaan juga dapat berkolaborasi dengan perusahaan lain untuk memperkuat sektor bisnisnya untuk bersaing, survive, dan sustain hingga akhirnya perform dan dapat mencapai Sustainable Competitive Advantage (SCA).

Suatu Perusahaan dapat melakukan strategi Outside-In, yaitu dengan melihat posisi mereka di market (Market Base View) seperti apa (Porter, 1980; 1991; Caves & Ghemawat, 1992; Grant, 1996), kemudian melihat ke dalam perusahaan (Resource Base View) untuk meresponnya (Penrose, 1959; Teece, 1982; Wernerfelt, 1984; Prahalad & Hamel, 2006; Barney, 1991;Peteraf, 1993; Peteraf et al., 2013; Teece, 2018). Dengan kemampuan dan sumber daya (Resource and Capability) yang dimiliki, diharapkan perusahaan dapat bersaing untuk mencapai Sustainable Competitive Advantage. Tetapi suatu perusahaan tidak boleh bergantung dengan Marekt Base Vew (MBV) dan Resource Base View (RBV) saja tanpa melihat lingkungan di luar perusahaan (non-market environment) seperti pemerintah. Pemerintah dapat mendukung dan membuat kebijakan yang dapat membentuk ekosistem dan sistem ekonomi digital. Dengan keberpihakan (vote) pemerintah terhadap digitalisasi dan kolaborasi inovasi yang dilakukan antar Perusahaan baik UMKM, Start-up Digital, maupun Korporasi, diharapkan dapat menjadi akselerator terbentuknya ekosistem dan ekonomi Digital di Indonesia.

 

B.    Pembahasan dan Analisis

Lingkungan harus berpihak terhadap keberlangsungan suatu Perusahaan. Dalam Population Ecological Theory (Hanan & Freeman, 1977) mengatakan Perusahaan berada dalam suatu populasi, ada yang survive (hidup) dan ada yang mati. Lingkungan akan membuat suatu ekosistem. Perusahaan yang bisa survive adalah perusahaan yang bisa beradaptasi dengan lingkungan. Salah satu cara perusahaan untuk berdapatasi yaitu dengan kemampuan berinovasi. Kunci untuk melakukan inovasi adalah dengan berkolaborasi. Pada artikel 2 dan 3 dijelaskan bahwa proses kolaborasi merupakan kunci dari lahirnya suatu inovasi baru. Kolaborasi dapat dilakukan antara Investor dengan Founder, Kolaborasi Korporasi dengan Perusahaan Start-up, ataupun kolaborasi antar perusahaan Digital dengan UMKM diharapkan dapat mendukung pembentukan ekosistem dan sistem ekonomi digital di Indonesia.  

Inovasi merupakan sebuah ide, produk, atau proses, sistem, atau perangkat yang dianggap baru bagi seorang individu, sekelompok orang atau perusahaan, sektor individu atau sebagai masyarakat secara keseluruhan (Rogers, 1995). Inovasi beperan penting dalam era digitalisasi untuk mencapai Sustainable Competitve Advantage. Abernathy dan Clarke (1985); Damanpour (1991) mengusulkan bahwa inovasi secara langsung dan positif mempengaruhi kinerja. Kemampuan berinovasi khususnya dalam penggunaan teknologi menjadi tantangan dan peluang bagi semua jenis perusahaan saat ini, baik UMKM, korporasi, bahkan perusahaan digital sekalipun yang dituntut untuk lebih lincah (agile) dan memiliki kecepatan (speed) untuk menghadapi lingkungan (environment) yang berubah cepat. Dalam lingkungan seperti itu, perusahaan perlu fokus pada sistem dan menerapkan teknologi yang dapat membantu mengelola ekspektasi lingkungan eksternal / perubahan pasar (Brettel, Friederichsen, Keller, & Rosenberg, 2014). Kunci dari kemampuan berinovasi adalah berkolaborasinya antar pihak, baik perusahaan dengan perusahaan, perusahaan dengan pemerintah, maupun perusahaan dengan investor.

Pada Artikel 1, UMKM berkolaborasi membutuhkan platform digital (product) untuk melakukan pemasaran secara digital agar produk mereka dapat menjangkau pasar yang lebih luas. Pada artikel 2, lebih ke proses dan sistem inovasi yang dibuat, yaitu Perusahaan Digital membuat wadah bagi UMKM dengan memberikan pelatihan dan pemberdayaan serta didukung oleh pemerintah dalam program akselerasi digital. Pada artikel 3, kolaborasi inovasi sebagai suatu proses dilakukan oleh korporasi dan Start-up digital yang sudah unicorn untuk mengembangkan sektor bisnis digitalnya seperti ke sektor konsumer dan Digital Banking. Kolaborasi teknologi sering terbentuk antara antara mitra yang saling bergantung sama lain (Casciaro and Piskorski, 2005; Gulati and Sytch, 2007; Katila, Rosenberger, and Eisenhardt, 2008). Pada artikel 3 dicontohkan kolaborasi antara Emtek-Grab-Bukalapak, Gojek-Bank Jago (ARTO), Shopee-SeaBank, Akulaku-BBYB, Kredivo-BBSI. 

Kolaborasi juga dilakukan antara korporasi tradisional dengan perusahaan Start-up digital yang dapat menjadi peluang potensi bisnis baru dan dapat menghemat biaya jika dapat mengintegrasikan produk untuk memenuhi kebutuhan internal dan eksternal. Aliansi strategis terinspirasi dengan adanya peluang untuk mengeksplorasi joint innovations dan penciptaan nilai melalui kolaborasi, di mana mitra berkontribusi untuk menghemat biaya transaksi dan mengurangi risiko (Das & Teng, 1998; Jolink & Niesten, 2016). Literatur proses aliansi menawarkan beberapa wawasan tentang bagaimana mitra mungkin mengaktifkan kemampuan mereka yang relevan (Hamel, 1991; Larson, 1992; Doz, 1996; Uzi, 1997; Arino dan de la Torre, 1998). Semua kolaborasi ini merupakan kunci untuk melahirkan inovasi baru yang saling menguntungkan. Untuk mendorong inovasi, perusahaan terlibat dalam berbagai kolaborasi, aliansi strategis, akuisisi, dan merger (Jolink & Niesten, 2016). Kolaborasi dengan merger dan akuisisi merupakan shortcut dalam Population Ecological Theory dengan motif ingin mencari value creation sehingga menjadi konglomerasi agar bisa survive, sustain, mencapai Sustainable Competitive Advantage (SCA). Ekologi populasi adalah studi tentang perubahan dinamis dalam satu set organisasi tertentu. Menggunakan populasi sebagai tingkat analisis mereka, ahli ekologi populasi secara statistik memeriksa kelahiran dan kematian organisasi dan bentuk organisasi dalam populasi selama periode yang lama (Hannan dan Freeman, 1989:15). Kolaborasi dalam inovasi ini diharapkan dapat membentuk ekosistem digital antar perusahaan serta dengan dorongan dan keberpihakan pemerintah (government) yang pada akhirnya dapat membentuk sistem ekonomi digital di Indonesia.

Pada artikel 2 juga dapat terlihat dimana kolabroasi dari berbagai pihak (Perusahaan, UMKM, dan Pemerintah) dengan inisiatif #KotaMasaDepan diperlukan untuk membentuk ekosistem digital di Indonesia. Perusahaan Emtek, Grab, dan Bukalapak berkolaborasi dengan memberikan wadah bagi UMKM seperti pemberian pelatihan dan pemberdayaan untuk mengakselerasi pertumbuhan UMKM. Pemerintah juga ikut berpihak (vote) dan mendukung langkah kolaborasi yang dilakukan oleh Perusahaan digital terhadap UMKM. Hubungan inovasi kolaboratif sangat sensitif terhadap keunikan situasi masing-masing perusahaan dan pemangku kepentingan yang berpartisipasi (Pereira et al, 2021). Teknologi kolaborasi dapat mendukung perusahaan dalam mengadopsi inisiatif ekonomi sirkular (Machado et al., 2020). Langkah kolaborasi ini dapat menjadi trigger awal pembentukan eksistem digital menuju sistem ekonomi digital di Indonesia.

Ekosistem Digital telah membuat mapping persaingan antar perusahaan digital semakin jelas. Beberapa perusahaan digital berkolaborasi membentuk kelompok masing-masing untuk menghadapi persaingan diantara mereka seperti GoTo dengan Bank Jago (ARTO), Emtek dengan Bukalapak dan Grab, Shopee dengan Seabank, Akulaku dengan Bank Neo Commerce (BBYB), Kredivo dengan Bank Bisnis Internasioanl (BBSI). Menurut Porter (1980) yaitu aspek kunci yang menentukan tingkat keunggulan bersaing sebuah perusahaan akan sangat bergantung kepada industri yang menjadi tempat persusahaan tersebut bersaing, perusahaan berada dalam satu industri yang homogen. Hal ini sesuai dengan artikel 3 yang membuat persaingan antar perusahaan digital di industri yang sama. Tentunya akan ada aksi dan reaksi antar perusahaan yang sedang berkompetisi melalui tools dari Game of Theory untuk menganalisis kompetisi antar perusahaan yan sedang bersaing (Shapiro, 1989). Pada artikel 3, adanya aksi dari Merger akuisisi GoTo-ARTO membuat membuat perusahaan digital lain bereaksi dengan melakukan aksi yang sama yaitu berkoalisi dan berkolaborasi juga dengan perusahaan lain seperti Emtek-Buka-Grab, Shopee-Sea, Akulaku-BBYB, Kredivo-BBSI.

Selain itu, adanya aksi Initial Public Offering (IPO) oleh “unicorn” Bukalapak di BEI membuat pesaing (competitor) nya juga ingin melakukan hal yang sama, seperti GoTo yang sudah terlebih dahulu masuk ke pasar modal (Capital Market) Singapore. GoTo berkeinginan untuk IPO di Bursa Eefek Indonesia (BEI) seperti yang dilakukan oleh Bukalapak karena IPO BUKA mendapat sentimen positif dari publik. Dalam hal ini berarti terdapat peran publik dalam berkolaborasi untuk mendukung perusahaan digital melalui penambahan modal lewat IPO.

Teori Institusional diterapkan oleh Perusahaan pada artikel 3. Teori institusional mempelajari bagaimana organisasi dapat meningkatkan kemampuan mereka untuk tumbuh dan bertahan dalam suatu lingkungan kompetitif dengan menjadi sah, yaitu, diterima, dapat diandalkan, dan akuntabel oleh para pemangku kepentingan mereka (Jones, 2013). Jika perusahaan motifnya ingin masuk ke suatu sektor dan dapat diterima maka dilakukan merger akuisisi agar mendapat legitimacy oleh pasar dengan cepat sesuai Teori Institusional. Hal ini dilakukan oleh Grab dengan Mimetic isomorphisme yaitu melakukan merger dan akuisisi yang sudah sukses dilakukan oleh perusahan digital yang terlebih dahulu sukses yaitu GoTo-ARTO dalam Digital Banking. Grab bermitra dengan Emtek untuk megincar digital banking di Indonesia karena jika Grab sendirian yang akan masuk ke Bank Digital akan berpotensi reject di Indonesia kata Chandra, mantan analis bisnis Accenture, mentor Japan External Trade Organization and Korean Trade Association. Maka dari itu, Grab masuk melalui vehicle yang kuat yaitu dari Emtek dan Bukalapak. Strategi yang sama juga diikuti oleh Akulaku dengan Bank Neo Commerce (BBYB) dan Kredivo dengan Bank Bisnis Internasioanl ( BBSI).

Pada era digitalisasi kemampuan memprediksi (prediction capability) apa yang akan terjadi di lingkungan (environement) menjadi sangat penting bagi suatu Perusahan dalam pengambilan keputusan. Teece dkk.(1997) mengusulkan bahwa kapabilitas  dinamis secara langsung menjawab perubahan lingkungan yang berimplikasi pada peran pendorong dinamisme lingkungan. Dalam memprediksi ini tentunya harus disertai dengan informasi yang jelas dan akurat agar go-ahead dari perusahaan lain. Informasi merupakan  resource perusahaan dalam pengambilan keputusan. Dalam pengambilan keputusan dibutuhkan kemampuan dan peran Entrepreneurial Leadership (EL) dalam suatu organisasi/perusahaan. Entreprenurial Leadership (EL) harus memiliki kemampuan memprediksi menggambarkan peristiwa yang akan terjadi di masa depan dan untuk menghadapai ancaman melalui inovasi (Liedtka, 1998). Dukungan Kemampuan Dinamis (Dynamic Capability) dan Entrepreneur Leadership (EL) dapat menjadi trigger suatu perusahaan dalam melakukan inovasi. Inti dari pendekatan kapabilitas dinamis adalah bahwa keberhasilan kompetitif muncul dari pengembangan, penyelarasan, dan konfigurasi ulang dari aset spesifik perusahaan (Augier dan Teece 2006, Teece dan Pisano 1994, Teece dkk. 1997). Perusahaan dapat menghasilkan ide-ide baru dengan melihat (sensing) peluang, mengambil (seizing) peluang tersebut dengan memilih ide inovasi yang paling memungkinkan dan mengembangkan ide inovasi tersebut menjadi suatu produk, sistem dan proses melalui orkestrasi dan konfigurasi terhadap resource yang dimiliki. Sedangkan Penrose (1959) dan para cendekiawan berbasis sumber daya mengakui persaingan pentingnya kemampuan spesifik perusahaan, peneliti dalam paradigma kemampuan dinamis mencoba untuk menguraikan secara spesifik bagaimana organisasi dapat merasakan (dan bentuk) peluang baru, raih, dan kemudian ubah sekali lagi karena lingkungan pasti berubah. Hal ini dimiliki oleh Emtek (EMTK) sebagai perusahaan media saat mengakuisisi Bukalapak (BUKA) dimana Emtek sudah mengetahui arah bisnis digital dari Bukalapak sehingga Emtek masuk dengan PT Kreatif Media Karya menjadi pemegang saham terbesar di Bukalapak dengan total 31,90% saat Bukalapak IPO di Bursa Efek Indonesia (BEI). Selain itu, dalam mengembangkan bisnis digitalnya, Emtek juga masuk ke Grab (PT. Grab Teknologi Indonesia) dengan berinvestasi 3,08 Triliun dengan tujuan untuk “mengembangkan sayap” dengan mengambil peluang (seizing) masuk ke industri digital agar perusahaan mencapai Sustainable Competitive Advantage.

Selain perusahaan seperti Emtek, kemampuan membaca arah pasar (prediction capability) juga harus dimiliki oleh UMKM. Pada artikel 1, disaat Pandemi sektor UMKM sulit untuk bertahan karena tidak memiliki kemampuan dinamis (Dynamic Capability) dan Entrepreneurial Leadership dalam membaca arah pasar dan mengeksekusi peluang kemana arah pasar. UMKM diharapkan dapat melihat dan mengambil peluang yang ada di pasar saat pandemi, seperti bisnis di bidang kesehatan. Sektor bisnis ini dapat dijadikan peluang bagi UMKM untuk dapat bertahan dengan mengalihkan bisnisnya ditengah situasi pandemi, contohnya  bisnis  Alat Pelindung Diri (APD) seperti masker, faceshield, handsanitizer, dan lain-lain. Sebab, permintaan pasar akan meningkat terhadap produk tersebut karena masyarakat cemas dan khawatir terpapar virus covid-19. Selain itu dalam pemasaran produknya, UMKM dapat melakukan kolaborasi proses inovasi dengan memanfaatkan platform teknologi digital untuk melalui pemasaran produk secara online (digital marketing) agar dapat menjangkau pasar yang lebih luas.

 

C.    Kesimpulan

Perusahaan harus mampu bertahan dan sustain pada lingkungan bisnis yang dinamis dan penuh ketidakpastian (Li &Liu 2014). Apalagi di era-digitalisasi lingkungan berubah dengan sangat cepat. Dibutuhkan ekosistem digital agar perusahaan dapat survive, sustain dan berakselerasi tumbuh (growth) dengan cepat (speed) dan lincah (agile) dari pada lingkungannya supaya tidak mengalamai kelembaman (inertia).  Ekosistem digital ini dapat dibentuk dengan kolaborasi berbagai pihak, seperti Perusahaan dengan Perusahaan lain, Perusahan dengan investor, Perusahaan dengan Pemerintah, bahkan perusahaan dengan masyarakat. Kolaborasi merupakan kunci dari suatu inovasi dimana perusahaan dapat membuat produk, proses, dan sistem yang baru melalui kolaborasi untuk bersaing di era digital.

Perusahaan yang berkolaborasi dengan aktor eksternal lainnya memiliki posisi yang lebih baik untuk berinovasi karena pengaturan tersebut meningkatkan aksesibilitas mereka ke sumber daya strategis yang diperlukan untuk mengembangkan produk dan proses baru. (Chesbrough, 2007; Najafi-Tavani et al., 2018). Dalam proses inovasi, perusahaan juga harus mempunyai dynamic capability untuk sensing dan seizing peluang yang ada di lingkungan dan harus memiliki entrepreneurial leadership  untuk mengambil dan mewujudkan peluang tersebut sehingga Perusahaan dapat mencapai Sustainable Competitve Advantage (SCA). Pada akhirnya, harapan dari semua kolaborasi antar pihak, baik di market environment maupun di non market environment dapat membentuk ekosistem dan sistem ekonomi digital di Indonesia.

 

Perubahan lingkungan yang dinamis akan direspon oleh perusahaan dengan menggunakan

berbagai strategi seperti pengembangan dynamic capability, strategic entrepreneurship atau

inovasi.

a.      Hubungan lingkungan, dynamic capability dan strategic entrepreneurship.

(Sumber : Kyrgodou, L.P & Mathew, H.M. 2009)

 

Kyrgodou, L.P dan Mathew, H.M. (2009) mengatakan bahwa Perusahaan secara individu mempunyai 8 komponen yang merefleksikan sebuah posisi strategi bisnis perusahaan dan berintraksi secara langsung dengan faktor lingkungan internal dan eksternal. Salah satu komponen Strategic Entrepreneurship yaitu Kapabilitas Dinamis (Dynamic Capability). Kapabilitas dinamis adalah kemampuan perusahaan untuk mengintegrasikan, membangun, dan mengkonfigurasi ulang kompetensi internal dan eksternal untuk mengatasi lingkungan yang berubah dengan cepat (Teece et al., 1997). Hubungan lingkungan dan kapabilitas dinamis menurut Drevich & Kriauciunas (2011); Wu (2010) yaitu dalam lingkungan yang stabil, hubungan antara kemampuan dinamis dan kinerja perusahaan tidak signifikan, sedangkan pada lingkungan yang bergojolak, hubungannya semakin positif, dengan menunjukan peran moderasi. Artinya, semakin dinamis lingkungan (Li & Liu 2012), maka kemampuan dynamic capability suatu perusahaan akan muncul sehingga berdampak terhadap kinerja perusahaan.

 

(Gambar Pemodelan Hubungan Environment, Strategic Entrepreneurship dan Dynamic Capability)

 

Key Points:

Dengan lingkungan yang semakin dinamis dan sering berubah (Li & Liu 2012), dibutuhkan kemampuan fleksibelitas suatu perusahan untuk melakukan adaptasi, integrasi, dan konfigurasi melalui sumber daya yang dimiliki agar sulit ditiru oleh organisasi lain sehingga mempunya daya saing. Fleksibilitas yang diciptakan melalui kapabilitas dinamis (dynamic capability) memang diperlukan, untuk mengantisipasi perubahan lingkungan tetapi dengan kadar yang tepat. Kemampuan dinamis akan berkaitan dengan Strategic Entrepreneurship jika kemampuan yang dinamis tersebut dapat digunakan oleh perusahaan dalam melihat peluang (sensing) yang ada di lingkungan, mengambil peluang (seizing) tersebut dan diwujudkan dengan melakukan rekonfigurasi (reconfigure) sumber daya (limited resources) yang dimiliki, seperti kompetensi, aset pengetahuan dan aset pelengkap. Salah satu contoh aplikasinya yaitu kemampuan dinamis dalam mendesain dan reorganisasi struktur organisasi karena perubahan lingkungan agar sesuai dengan kebutuhan perusahaan struktur organisasi tersebut untuk mencapai keunggulan bersaing yang berkelanjutan.

 

b.     Hubungan lingkungan, dynamic capability dan inovasi.

Penrose (1959) dan para cendekiawan berbasis sumber daya mengakui persaingan pentingnya kemampuan spesifik perusahaan, peneliti dalam paradigma kemampuan dinamis mencoba untuk menguraikan secara spesifik bagaimana organisasi dapat merasakan (dan bentuk) peluang baru, raih, dan kemudian ubah sekali lagi karena lingkungan pasti berubah. Eisenhardt dan Martin (2000) mengusulkan definisi yang luas bahwa kemampuan dinamis adalah serangkaian proses yang spesifik dan dapat diidentifikasi seperti pengembangan produk, pengambilan keputusan strategis dan aliansi.  Inti dari pendekatan kapabilitas dinamis adalah bahwa keberhasilan kompetitif muncul dari pengembangan, penyelarasan, dan konfigurasi ulang spesifik perusahaan aset (Augier dan Teece 2006, Teece dan Pisano 1994, Teece dkk. 1997). Jadi, salah satu aset yang perlu dikembangkan dalam kemapuan dinamis adalah pengetahuan (knowledge) yang dapat memunculkan ide-ide inovasi baru untuk dikembangkan menjadi produk dan sistem sehingga dapat disebar dan dirasakan manfaatnya oleh perusahaan sebagai keunggulan daya saing.

 

(Gambar Pemodelan Hubungan Environment, Inovasi dan Dynamic Capability)

 

Key Points:

Lingkungan yang dinamis (Li & Liu 2012) dapat  menjadi suatu peluang untuk menghasilkan ide-ide baru dalam berinovasi. Proses Inovasi dapat berjalan jika didukung dengan kemampuan dinamis (Dynamic Capability) dari Organisasi/Perusahaan. Bagaimana perusahaan bisa melakukan Idea generation kalau tidak memiliki kemampuan untuk melihat peluang (sensing), kemudian mengambil peluang (seizing) tersebut untuk di kembangkan (Idea Development). Tetapi pengembangan ide (idea development) ini tidak akan berjalan jika tidak dilakukan orkestrasi (orchestration) atau rekonfigurasi (reconfigure) terhadap resources yang ada didalam perusahaan, seperti aset pengetahuan (knowledge) dan kompetensi.

 

c. Hubungan lingkungan, strategic entrepreneurship dan inovasi.

 

(Kuratko D.F. & Hodgetts R.M.2004)

 

Menurutku Kuratko dan Hodgetts (2004) mengatakan bahwa inovasi menjadi irisan atau berada di tengah-tengah antara lingkungan (environment) dan Strategic Entrepreneurship (SE). Artinya, Inovasi muncul dengan adanya peluang di lingkungan dan perusahaan dapat melihat dan mengambil peluang tersebut untuk menghasilkan ide inovasi dan mewujudkan nya dengan resource yang dimiliki.  Hitt, dan Sirmon (2003) mengembangkan model awal Strategic Entrepreneurship dengan empat dimensi utama: (1) pola pikir kewirausahaan (mindset), budaya (culture), dan kepemimpinan (leadership), (2) manajemen strategis sumber daya organisasi, (3) penerapan kreativitas, dan (4) pengembangan inovasi. Jadi Inovasi merupakan salah satu dimensi dari Strategic Entrepreneurship.

 

(Musa and Fontana, 2016)

 

Sesuai gambar diatas Entrepreneurial Leadership (EL) sebagai elemen dari Strategic Entrepreneurship dapat mempengaruhi proses pembuatan inovasi mulai dari menghasilkan ide, memilih ide, mengembangkan ide hingga akhirnya menyebarkan ide tersebut di Perusahan. Dengan adanya proses inovasi di suatu perusahaan, diharapkan tercapainya Performa Inovasi dari Organisasi/Perusahaan (Musa dan Fontana, 2016). Entreprenurial Leadership (EL) harus memiliki kemampuan memprediksi menggambarkan peristiwa yang akan terjadi di masa depan dan untuk menghadapai ancaman melalui inovasi (Liedtka, 1998)

 

(Gambar Pemodelan Hubungan Environment, Strategic Entrepreneurship,dan Inovasi)

 

Key Points:

Lingkungan yang dinamis (Li & Liu 2012) dapat menjadi suatu peluang (opportunity) bagi organisasi untuk menemukan masalah dan solving masalah tersebut melalui penciptaan ide-ide baru yang akan melahirkan suatu inovasi berupa produk atau sistem. Dalam proses inovasi mulai dari generating, selecting, develop, sampai diffusion ide, dibutuhkan kemampuan Strategic Entrepreneurship (mindest, culture, and leadership), yaitu dimana untuk menghasilkan ide untuk solving problem di lingkungan, perusahaan harus mampu memprediksi dan melihat (sensing) adanya peluang (Opportunity) dari masalah tersebut, memilih ide dengan mengambil (seizing) peluang tersebut untuk diwujudkan dan dikembangkan (idea development) menjadi suatu produk atau sistem dengan sumber daya yang dimiliki (limited resources) sehingga permasalahan yang ada di lingkungan dapat diselesaikan (solving) dengan kehadiran produk/sistem inovasi tersebut, dan pada akhirnya diharapakan perusahaan dapat perform mencapai Sustainable Competitve Advantage (SCA).

 

 

 

Sertakan daftar referensi yang akan digunakan serta lampirkan bersama lembar jawaban.

Referensi:

·       Hannan, M.T. and Freeman, J. 1977. The population ecology of organizations. American Journal of Sociology, Vol. 82, pp.929-64.

·       Kyrgodou, L.P., & Mathew, H.M. (2009). Strategic Entrepreneurship: Origins, Core Elements and Research Direction. European Business Review, 22(1) 43-63

·       Teece, D., & Augier, M. (2009). Dynamic Capabilities and the Role of Managers in Business Strategy and Economic Performance. Organization Science, 20(2) 410-421

·       Davis, J., & Eisenhardt, M. (2011). Rotating Leadership and Collaborative Innovation: Recombination Processes in Symbiotic Relationship. Administration Science Quarterly, 56(2) 159-201

·       Li, D., & Liu, J. (2012). Dynamic Capabilities, Environmental Dynamis, and Competitve Advantage: Evidence from China. Journal of Business Research, 0148-2963

·       Gareth R. Jones. 2013. Organizational Theory, Design, and Change. Essex: Pearson.

·       Fontana, A., & Musa, S. (2016). The Impact of Entreprenurial Leadership on Innovation Management and Its Measurement Validation. International Journal of Innovation Science, 9(1) 2-19

·       Haque, M., & Ali, I. (2016). Uncertain Environment and Organizational Performance: The Mediating Role of Organizational Innovation. Asian Social Science, 12(9),  http://dx.doi.org/10.5539/ass.v12n9p124

·       Kumar, S., & Bhatia, M. (2021). Environmental Dynamism, Industry 4.0 and Performance: Mediating role of Organizational and Technological Factors. Industrial Marketing Management, 95(2021) 54-64

·       Pereira, B., Lohmann, G., & Houghton, L. (2021). The Role of Collaboration in Innovation and Value Creation in the Aviation Industry. 7(1) 44-59 

Depok, 25/10/2021

(Rahmadani Saputra)